Sabtu, Juli 20, 2013

Jembatan Batang Toru: Air Mengalir Sejak ‘Tempo Doeloe’

Baca juga: Sejarah BATANG TORU (1): Kisahnya Mengalir Sejak Doeloe, Namanya Baru Dikenal Kemudian
 
Ekspedisi Franz Wilhelm Junghuhn ke Batang Toru

Foto-1: Jembatan Batang Toru 1915 (commons.wikimedia.org)
Peta-1:  Lubuk Raya dan sekitar 1843-1847 (Diterbitkan 1852)
Pada masa dulu salah satu pesona Batang Toru adalah keberadaan sungai dan jembatannya. Sungai Batang Toru terkenal memiliki arus yang sangat deras dan jembatannya yang cukup panjang. Sungai Batang Toru ini berada di kaki Gunung Lubuk Raya (Peta-1). Seorang penjelajah mengabadikan Sungai Batang Toru dan  Gunung Lubuk Raya di dalam sebuah lukisan yang indah mirip aslinya pada November 1840 (Lukisan-1). 




Penjelajah tersebut adalah Franz Wilhelm Junghuhn yang pernah melakukan ekspedisi di selatan Tapanuli (1840-1845). Junghuhn adalah seorang Jerman—yang memiliki gelar dokter yang juga ahli botani, ahli geologi, ahli paleontologi, mineralogi, vulkanologi, etnolog, meteorologi dan seorang surveyor hebat--yang bekerja untuk Belanda yang dalam ekspedisinya ke Tapanuli membuat gambaran topografi dan etnologis yang rinci.

Lukisan-1: Sungai Batang Toru dan Gunung Lubuk Raya, 1840
Lukisan Sungai Batang Toru dan Gunung Lubuk Raya, 1840 diterbitkan oleh Hermann von Rosenberg tahun 1878 dalam bukunya 'Der Malayische Archipel. Land und Leute in Schilderungen, gesammelt während eines dreissig jährigen Aufenthaltes in den Kolonien'. Leipzig, Verlag von Gustav Weigel, 1878. Lukisan ‘Sungai Batang Toru dan Gunung Lubuk Raya’ diambil dari posisi melihat ke timur (seberang sungai Batang Toru). Ini sesuai dengan rute perjalanan  Junghuhn dari Batavia menuju Padang, kemudian Sibolga dan selanjutnya ke Batang Toru. Terlihat bahwa sungai Batang Toru ini sangat perkasa, suatu sungai yang ketika meluap tidaklah mudah diseberangi. Demikian juga ketika kondisi sungai normal, arusnya tetap sangat deras.

***

Lukisan-2: Jembatan gantung di atas Batang Toru  1840-1845
Salah satu upaya yang dilakukan oleh penduduk adalah dengan membuat jembatan suspensi yang terbuat dari rotan di atas Sungai Batang Toru. Jembatan gantung ini hanya dapat dilalui oleh pejalan kaki saja. Dengan adanya jembatan gantung ini bagi penduduk akan memudahkan mereka menyeberang dari dan ke Kota Batang Toru. Hasil karya penduduk Batang Toru yang juga disebut rambin ini diabadikan oleh  Franz Wilhelm Junghuhn (Lukisan-2).




Foto-2: Jembatan gantung di atas Batang Toru, 1890 (KITLV)
Tentang jembatan gantung ini sebagai sarana transportasi perdagangan dari Angkola ke Pelabuhan di Sibolga diceritakan dalam buku yang ditulis oleh Franz Wilhelm Junghuhn berjudul Die Battaländer Auf Sumatra: Im Auftrage Sr. Excellenz Des General-Governeurs Von Niederländisch-Indien Hrn. P. Merkus in Den Jahren 1840 Und 1841. Kemudian seorang Belanda bernama Mr. Buys di dalam laporan perjalanannya tahun 1886 yang dimuat di dalam Jaarg Vol. 50 menyebutkan bahwa jembatan suspensi rotan ini telah diganti dengan jembatan yang lebih kencang yang terbuat dari kabel kawat telegraf yang pembangunannya selesai pada tahun 1882. Pada tahun  1890 jembatan ala suspensi yang terbuat dari kabel juga terekam dalam sebuah foto (Foto-2). Jembatan kabel ini dapat dilalui oleh kereta kuda yang dengan sendirinya dapat meningkatkan arus orang dan barang dari Padang Sidempuan (ibukota Residen Tapanuli) ke Sibolga (pelabuhan laut).


Topografi dan Jembatan Batang Toru

Jika ekspedisi Junghuhn masuk dari teluk Tapanuli di Sibolga menuju Tapanuli Selatan, maka Belanda pertama kali masuk ke Tapanuli Selatan justru datang dari arah Natal tahun 1833.  Pada waktu itu di Tapanuli masih suasana Perang Paderi (1825-1838). Pihak Belanda lalu mendirikan benteng Fort Elout di Panyabungan untuk menyatakan keberadaannya di Tanah Batak sekaligus basis untuk mengepung perlawanan Imam Bonjol di daerah Pasaman. Setahun kemudian, Belanda memulai pemerintahan sipil di Tapanuli yang dipimpin Asistent Resident berkedudukan di Natal. Waktu itu wilayah Tapanuli masih bagian dari keresidenan yang berkedudukan di Air Bangis. 

Sebelum Belanda masuk ke Tapanuli Selatan kawasan selatan Tanah Batak ini terdiri dari berbagai luhat--dimana setiap luhat mempunyai pemerintah sendiri dan berdiri secara otonom dan belum pernah berada dibawah pengaruh siapapun. Luhat-luhat yang dimaksud adalah Sipirok, Angkola, Marancar, Padang Bolak, Barumun, Mandailing, Batang Natal, Natal, Sipiongot dan Pakantan. Kemudian pada tahun 1884 Tapanuli ditingkatkan menjadi keresidenan dan mengangkat seorang Resident di Padang Sidempuan. Pada tahap selanjutnya ibukota Tapanuli dipindahkan dari Padang Sidempuan ke Sibolga tahun 1906 sehubungan dengan kebijakan pemerintahan Belanda membagi wilayah Tapanuli menjadi tiga afdeeling, yaitu: Padang Sidempuan, Sibolga dan Tarutung. Setiap afdeeling dipecah menjadi onderafdeling.

Peta-2: Topografi Batang Toru 1896-1905 (KITLV.NL)
Bagaimana keadaan topografi Batang Toru antara tahun 1896-1905 ditunjukkan dalam peta yang diterbitkan pada tahun 1908 (Peta-2). Tampak Kota Batang Toru adalah sebuah kota dimana penduduknya memusat di sekitar jalan raya dan dekat dengan jembatan Batang Toru.


Jembatan yang dulu terbuat dari rotan/kabel kawat telegraf kemudian dibangun jembatan besi yang lebih permanen. Dalam perkembangannya jembatan ini kemudian ditingkatkan mutunya dengan jembatan yang lebih kuat yang pengerjaannya dilakukan pada tahun 1915 (Foto-3a dan Foto-3b). Jembatan baru ini dibuat beratap (Foto-1). Jembatan beratap semacam ini di Eropa dan Amerika biasanya dibangun pada abad ke-19.

Foto-3a: Penggantian jembatan Batang Toru 1915 (KITLV.NL)
Foto-3b.





Jembatan Perjuangan

Foto-4: Jembatan Batang Toru 1936-1939 (Foto: KITLV.NL)
Jembatan Batang Toru kemudian diperbaiki dengan konstruksi baja sebagaimana dapat dilihat dalam foto yang direkam antara 1936-1939 (Foto-4). Pada masa ageresi militer Belanda 1948 jembatan ini pernah dirusak ketika masa agresi Belanda untuk menghalangi pasukan Belanda dari arah Sibolga menuju Padang Sidempuan.




Foto-5: Jembatan Batang Toru pada masa kini (tapsel.lefora.com)
Pada masa kini, jembatan Batang Toru tetap menjadi penghubung yang strategis antara Batang Toru dengan Padang Sidempuan. Jika dulu jembatan ini menjadi alat perjuangan namun pada era demokrasi yang sekarang tidak luput jembatan ini juga dihiasi dengan spanduk-spanduk dalam pilkada (Foto-5).


Di Bawah Jembatan Batang Toru terdapat Arung Jeram

Foto-6: Arung jeram di Sungai Batang Toru (bocahrimba.wordpress.com
Pada masa ini sungai Batang Toru tidak hanya memiliki riwayat tentang jembatan yang hebat tetapi juga memiliki potensi yang besar untuk di kembangkan menjadi tempat wisata adventure sebagai wisata arung jeram (Foto-6). Keutamaan sungai Batang Toru ini selain arusnya yang deras juga karena masih tampak alami. Sungai ini harus tetap terjaga dengan baik, karena sungai Batang Toru adalah sebuah sungai yang tetap mengalir di sepanjang kawasan hutan Batang Toru dari dulu hingga nanti (Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap)

2 komentar:

sandy pulungan mengatakan...

Batang toru kampung halamanku'.
Saya sangat rindu kepada batang toru ku dulu..bukan yg sekarang.
Malah dibuat pertambangan dan mencemari sungai di batang toru. Seperti aek pahu,sumuran sudah tidak ada airnya lagi/kering dan sudah dirusak oleh pertambangn dibatang toru dan hutan2,gunung2 yg di batang toru habis diratakan dan dikorek terus menerus'..
Sampaikapn batang toru bertahan seperti ini'.
Kenapa batang toru tidak menjadi hutan lindung saja supaya steril kaya alam2nya dan satwa2 yg ada dibatang toru.

dasd mengatakan...

kampung bukitnya dmana...kok gak ada..padahal nama padangsidimpuan kan di ambil dari nama padang nadimpu... yaitu kampung bukit..