Pembentukan ‘Kabupaten Pantai Barat Mandailing’
Sejarah
Kabupaten Pantai Barat Mandailing yang beribukota Kota Natal adalah sejarah
yang panjang dan berliku. Perjalanannya dimulai dari Kota Padang Sidempuan sebagai ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan (dibentuk tahun 1952). Untuk lebih memajukan
pembangunan di wilayah Natal, karena alasan wilayah tertinggal, dibentuk
kecamatan baru di wilayah Natal. Kecamatan Natal yang wilayahnya sangat luas
dimekarkan tahun 1992 dengan membentuk Kecamatan Batahan dan Kecamatan Muara
Batang Gadis. Kabupaten Tapanuli Selatan sebagai kabupaten tunggal di wilayah
Tapanuli Bagian Selatan berlangsung selama 42 tahun sampai akhirnya harus
dimekarkan. Pada
tahun 1998 tujuh kecamatan yang menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan (Natal,
Batang Natal, Kotanopan, Panyabungan, Siabu dan Muara Sipongi, Batahan dan
Muara Batang Gadis) dibentuk menjadi sebuah kabupaten pemekaran yang diberi nama
Kabupaten Mandailing-Natal yang beribukota di Panyabungan. Mandailing-Natal
sebagai nama kabupaten diusulkan untuk menonjolkan eksistensi etnik Mandailing
di satu sisi dan mengakomodir nama Natal (dari dua kecamatan yang berada di
arah barat/pesisir tanah Mandailing: Kecamatan Natal dan Kecamatan Batang Natal).
Dalam perkembangannya, populasi
wilayah Kecamatan Batahan (yang berada di perbatasan Provinsi Sumatera Barat) meningkat pesat. Hal ini karena adanya transmigrasi di
Desa Sinunukan yang akhirnya desa tersebut ditingkatkan pada awal tahun 2007 menjadi
kecamatan dengan nama Kecamatan Sinunukan. Bersamaan dengan pembentukan
kecamatan ‘transmigrasi’ tersebut, di
wilayah Kecamatan Batang Natal juga dipandang terlalu luas sehingga dilakukan
pemekaran dengan membentuk Kecamatan Ranto Baek (ibukota Manisak). Namun tidak
lama kemudian, pada akhir tahun 2007 Kecamatan Batang Natal dimekarkan kembali
dengan membentuk Kecamatan Lingga Bayu (ibukota Simpang Gambir).
Setelah
12 tahun pembentukan Kabupaten Mandailing-Natal, pembangunan di wilayah Natal
khususnya daerah pesisir pantai barat tidak menunjukkan perkembangan yang
berarti. Penduduk yang berada di wilayah itu menyampaikan aspirasi untuk
membentuk kabupaten sendiri. Kabupaten Mandailing-Natal ‘pecah kongsi’, masyarakat
yang berada di daerah pesisir pantai mengharapkan terbentuknya ‘Kabupaten Natal’. Singkat cerita, setelah terjadi proses yang panjang, DPRD
Kabupaten Mandailing-Natal dan DPRD Sumatera Utara pada tahun 2012 menyetujui dan mengesahkan pembentukan
kabupaten baru, tetapi bukan dengan nama ‘Kabupaten Natal’, melainkan dengan
nama Kabupaten Pantai Barat Mandailing. Lantas, apakah warga dari etnik Melayu dan etnik Pesisir di wilayah Natal 'kecele'?
Redistribusi Etnik di Kabupaten Mandailing-Natal
Sudah
menjadi aturan tidak tertulis, bahwa pembentukan sebuah daerah (kabupaten atau
provinsi), tidak semata-mata atas dasar faktor untuk memacu pembangunan wilayah
‘tertinggal’ tetapi juga didasarkan pada faktor ‘kedaerahan’. Dalam bahasa ‘tempo
doeloe’, istilah kedaerahan dapat diartikan sebagai faktor etnik. Sebagai latar
belakang dapat diambil contoh dalam wacana pembentukan ‘Provinsi Tabagsel’ yang
mana etnik asli Tabagsel (Angkola, Mandailing, Ulu, Siladang plus Melayu/Pesisir di Natal) pada tahun 2010 persentasenya
sebesar 76.7 persen (Tabel-1). Dalam ‘format’ aspirasi pembentukan ‘Provinsi
Tabagsel’, etnik Angkola/Mandailing dominan. Hal yang sama juga dapat diperhatikan
ketika tahun 1998 yang lampau dalam pembentukan Kabupaten Mandailing Natal yang
mana persentase etnik Mandailing dominan sebagaimana persentasenya pada tahun
2010 sebanyak 77.7 persen. Ini berarti dari sudut pandang komposisi etnik,
wacana pembentukan ‘Provinsi Tabagsel’ dengan pembentukan Kabupaten
Mandailing-Natal 'setali tiga uang'.
Tabel-1.
Distribusi Etnik di Kabupaten
Mandailing Natal
(Sebelum
dan Setelah Pemekaran)
|
|||||
Kode
BPS |
Etnik
|
Wilayah
Tabagsel
|
Kabupaten
Mandailing
Natal
|
Setelah
Pemekaran
|
|
Kabupaten
Mandailing
Natal
|
Kabupaten
Pantai
Barat
Mandailing
|
||||
14
|
Angkola
|
37.7
|
0.5
|
0.5
|
0.4
|
16
|
Mandailing
|
36.3
|
77.7
|
90.8
|
43.0
|
114
|
Jawa
|
9.0
|
7.2
|
1.6
|
22.2
|
20
|
Toba
|
7.6
|
2.6
|
2.1
|
3.7
|
25
|
Nias
|
3.8
|
1.0
|
0.4
|
2.8
|
26
|
Pesisir
|
1.3
|
4.2
|
0.0
|
15.1
|
32
|
Minang
|
1.1
|
0.5
|
0.6
|
0.5
|
107
|
Melayu
|
0.9
|
2.6
|
0.3
|
8.8
|
19
|
Sibolga
|
0.6
|
1.2
|
1.2
|
1.1
|
29
|
Ulu
|
0.5
|
1.5
|
2.0
|
-
|
113
|
Sunda
|
0.3
|
0.4
|
0.1
|
1.1
|
15
|
Karo
|
0.2
|
0.1
|
0.0
|
0.3
|
18
|
Simalungun
|
0.1
|
0.1
|
0.0
|
0.3
|
1
|
Aceh
|
0.1
|
0.1
|
0.1
|
0.2
|
Lainnya
|
0.4
|
0.3
|
0.2
|
0.5
|
|
Catatan:
1. Etnik Melayu adalah bagian dari etnik Melayu secara umum yang penyebarannya di sepanjang
pesisir timur Sumatera. Sedangkan etnik Pesisir adalah etnik yang penyebarannya di sepanjang pesisir barat Sumatera.
2. Etnik Ulu terkonsentrasi di Muarasipongi
3. Etnik Sibolga adalah kata lain untuk etnik Batak Tapanuli
Sumber: Diolah dari Sensus
Penduduk, 2010
|
Komposisi
etnik di Kabupaten Mandailing-Natal pada tahun 2010 sebelum disahkannya ‘Kabupaten
Pantai Barat Mandailing’ pada tahun 2012 tampak bahwa persentase etnik
Mandailing dominan (77.7 persen). Sementara etnik Melayu/Pesisir yang umumnya
dominan di wilayah Natal hanya sebanyak 6.8 persen. Persentase etnik Melayu/Pesisir
ini meskipun lebih kecil jika dibandingkan dengan etnik pendatang khususnya
etnik Jawa (sebesar 7.2 persen), tetapi etnik Melayu/Pesisir memiliki
portopolio di dalam nama kabupaten ‘Mandailing-Natal’. Oleh karena itu, dalam usulan
pembentukan ‘Kabupaten Natal’, dari sisi etnik Melayu/Pesisir akan dimungkinkan
untuk meningkatkan proporsi etnik Melayu/Pesisir jika wilayah Natal ‘memisahkan
diri’ dari kabupaten induk Kabupaten Mandailing-Natal.
Akibat
adanya ‘game’ dalam pemekaran tersebut, yang tercipta adalah proporsi etnik
Melayu/Pesisir drastis meningkat dari 6.8 persen ketika bersama-sama di dalam
satu kabupaten (Mandailing-Natal) menjadi 23.9 persen di dalam kabupaten baru
(Pantai Barat Mandailing). Ini berarti etnik Melayu/Pesisir mendapat ‘gain’
sebesar 17.1 persen. Akan tetapi etnik Mandailing saja (minus Ulu dan Siladang)
sudah dengan sendirinya meningkat proporsinya dari 77.7 persen (sebelum
pemekaran) menjadi 90.8 persen (setelah pemekaran). ‘Gain’ yang diperoleh etnik
Mandailing memang hanya sebesar 13.1 persen, tetapi angka ini justru semakin
memperkuat positioning (dominansi) etnik Mandailing di Kabupaten
Mandailing-Natal.
‘Gain’
yang diterima etnik Melayu/Pesisir ternyata tidak utuh. Di satu sisi, etnik
Melayu/Pesisir meningkat proporsinya di kabupaten baru (Pantai Barat
Mandailing), tetapi dalam kenyataannya persentase etnik Melayu/Pesisir (23.9
persen) ternyata relatif lebih kecil jika dibandingkan etnik Mandailing di
kabupaten baru yang persentasenya telah mencapai 43,9 persen. Sementara di sisi
lain, persentase etnik Melayu/Pesisir ini mendapat ‘kompetitor’ baru dari etnik
Jawa yang proporsinya meningkat tajam menjadi 22.2 persen (hanya 7.2 persen
sebelum pemekaran). Bagi etnik Mandailing, hasil pemekaran tidak hanya
memperbesar proporsinya di kabupaten induk, tetapi juga masih menyisakan ‘portopolio’
cukup besar di dalam kabupaten yang baru. Inilah alasan yang mendasari mengapa
nama kabupaten baru adalah ‘Kabupaten Pantai Barat Mandailing’—bukan ‘Kabupaten
Natal’. Bagi etnik Melayu/Pesisir, hilangnya ‘usulan’ nama ‘Kabupaten Natal’
masih membuat ‘tersenyum’ etnik Melayu/Pesisir karena nama Natal sebagai ‘portopolio’
lama masih tersisa dan melekat pada nama
kabupaten induk yakni Kabupaten Mandailing-Natal. Sementara bagi etnik
Mandailing, nama Kabupaten Mandailing-Natal yang tetap dipakai setelah
pemekaran mungkin dianggap ‘mengganggu’ karena ‘portopolio’ etnik
Melayu/Pesisir sendiri sebagai representasi wilayah pesisir/pantai hanya
tersisa 0.3 persen saja. Inilah satu-satunya ‘gain’ yang diperoleh etnik
Melayu/Pesisir dalam ‘game’ pemekaran tersebut.
Multi Etnik di ‘Kabupaten
Pantai Barat Mandailing”
‘Kabupaten
Pantai Barat Mandailing’ adalah sebuah ‘kabupaten’ baru yang berada di wilayah
Natal yang komposisi etniknya sangat beragam. Persentase etnik terbesar di ‘kabupaten’
baru ini adalah etnik Mandailing sebesar 43.0 persen. Etnik Jawa berada di
posisi kedua dengan persentase sebesar
22.2 persen. Sedangkan etnik Melayu dan etnik Pesisir yang kerap
diasosiasikan dengan ‘penduduk asli’ wilayah Natal berada di peringkat berikutnya.
Etnik Pesisir berada di posisi ketiga dengan persentase 15.1 persen dan etnik
Melayu berada posisi keempat yang persentasenya sebesar 8.8 persen. Jika dua etnik ‘penduduk asli’ ini
digabung maka total sebesar 23.9 persen (sedikit di atas etnik Jawa tetapi jauh
dibawah etnik Madailing). Dua etnik pendatang lainnya yang terbilang
persentasenya signifikan adalah etnik Toba (3.7 persen) dan etnik Nias (2.8
persen). Dengan demikian, enam etnik yang terbilang persentasenya cukup berarti
secara keseluruhan total persentasenya adalah 95.6 persen. Sisanya sebesar 4.4
persen merupakan gabungan dari 22 etnik.
Etnik
Mandailing dominan di Kecamatan Muara Batang Gadis, Kecamatan
Ranto Baek dan Kecamatan Linggabyu. Dalam porsi kecil etnik Mandailing
ditemukan juga di Kecamatan Natal, Kecamatan Sinunukan dan Kecamatan Batahan. Etnik
Jawa selain dominan di Kecamatan Sinunukan, juga ditemukan porsi yang cukup besar di Kecamatan Batahan dan Kecamatan
Natal. Etnik Pesisir dominan di Kecamatan Batahan dan etnik Melayu
terkonsentrasi di Kecamatan Natal. Sementara etnik Nias terkonsentrasi di Kecamatan
Natal. Sedangkan etnik Toba tersebar di enam kecamatan yang ada di ‘Kabupaten
Pantai Barat Mandailing’.
Secara spesifik, di Kecamatan Natal sebagai tempat dimana ibukota 'Kabupaten Pantai Barat Mandailing' proporsi etnik Mandailing tidak cukup besar. Proporsi terbesar adalah etnik Jawa dan etnik Melayu. Etnik Pesisir yang dominan di Kecamatan Batahan terlihat cukup signifikan di Kecamatan Natal. Dua etnik lainnya yang cukup berarti di Kecamatan Natal adalah etnik Toba dan etnik Nias. Ini berarti, di Kecamatan Natal tidak terdapat etnik dominan. Distribusi etnik di Kecamatan Natal tampak lebih menggambarkan pola multi etnik sebagaimana ditemukan di Kota Medan, Kota Batam, Provinsi DKI Jakarta dan Kota Depok (Akhir Matua Harahap)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar