Minggu, Oktober 21, 2018

Sejarah Padang Sidempuan (24): Kota Musik Kota Oleh Oleh; Kini Seluruh Indonesia Ingin Melihatmu Berkembang Kembali


Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan dalam blog ini Klik Disini. Blog TAPANULI SELATAN DALAM ANGKA adalah blog kembar dengan Blog Poestaha Depok. Bagi pembaca, untuk mengenal lebih jauh tentang Padang Sidempuan dan Tapanuli Bagian Selatan (Angkola, Mandailing dan Padang Lawas) di tingkat nasional, dapat melihat di blog POESTAHA DEPOK.
Orang Padang Sidempuan (baca: wilayah Tapanuli Bagian Selatan atau Afdeeling Mandailing dan Angkola) sudah sejak era kolonial banyak berhijrah ke berbagai tempat di Indonesia (baca: Hindia Belanda). Mereka merantau, tetapi jarang yang kembali ke kampung halaman di Padang Sidempuan. Di perantauan mereka berkarya. Di kampung orang lain mereka sangat dikenal, tetapi para perantau kurang peduli memperkenalkan kampungnya. Mereka hanyut dan cenderung nasionalis: ‘dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung’,


Desy Drummer from Padang Sidempuan
Tidak bisa melihat keindahan di masa depan, tanpa bercermin di masa lampau. Semangat masa lampau adalah garis continum pada masa kini ke masa depan. Kota Padang Sidempuan bukanlah kota baru, tetapi kota kuno yang telah melahirkan banyak tokoh di pentas nasional. Kini, Kota Padang Sidempuan mulai merajut kembali, untuk mengejar masa depan, seperti yang pernah diraihnya di masa lampau.

Kini semua pandangan Indonesia mulai melihat Padang Sidempuan. Namun semua orang hanya bertanya-tanya: Dimana Padang Sidempuan? Apa keutamaan Padang Sidempuan? Kota Padang Sidempuan kontribusinya apa di pentas nasional? Semua pertanyaan itu menjadi sebab Kota Padang Sidempuan tidak dipedulikan. Kota Padang Sidempuan hanya dikenal sebagai Kota Salak, kota kecil di pedalaman Sumatra yang ‘gps’nya berada di ujung selatan Provinsi Sumatera Utara. Kota Padang Sidempuan tenggelam di dasar piramida Indonesia.

Padahal Kota Padang Sidempuan adalah kota kelahiran ayah dari dua besan Presiden Indonesia (SBY dan Jokowi). Kota Padang Sidempuan adalah tempat dimana Adam Malik dibui oleh Belanda pada usia 17 tahun (Wakil Presiden RI). Inda, ale hum i saja (mengutip baris sajak Willem Iskander, 1872). Afdeeling Padang Sidempuan adalah tempat kelahiran ayah musisi Rinto Harahap, ayah musisi Ucok AKA Harahap, ayah penyanyi Diana Nasution. Ke dalam daftar ini, jika mundur ke belakang, termasuk tempat kelahiran Perdana Menteri RI kedua (Amir Sjarifoeddin), tempat kelahiran Menteri Pendidikan RI kedua (Soetan Gunung Mulia), tempat kelahiran Dja Endar Moeda (pendiri organisasi kebangsaan pertama Medan Perdamaian 1900, jauh sebelum Boedi Oetomo), tempat kelahiran Soetan Casajangan (pendiri perhimpunan mahasiswa pertama di Belanda, 1908). Tentu saja tempat kelahiran ayah dari Mochtar Lubis, ayah dari Sakti Alamsyah, ayah dari Sanusi Pane. Jangan lupa, Kota Padang Sidempuan adalah tempat kelahiran Wali Kota Padang pertama (Dr. Abdul Hakim), Wali Kota Surabaya pertama (Dr. Radjamin Nasution) dan Wali Kota Medan pertama (Mr. Loeat Siregar). Dan sangat banyak lagi termasuk Jenderal Besar Abdul Haris Nasution.  

Satu hal juga yang penting, selain kota pendidikan, Kota Padang Sidempuan juga di masa lampau adalah kota musik dan kota oleh-oleh. Kini, Kota Padang Sidempuan mulai merintis jalan untuk tumbuh dan berkembangnya industri kreatif terutama industri musik (jasa hiburan) dan industri oleh-oleh (usaha produksi). Dua bidang ini ke depan diharapkan bersinergi (saling memperkuat). Dua bidang ini diharapkan sebagai penggerak sektor-sektor lainya berkembang, seperti pariwisata dan kuliner.

Sejarah Musik Batak Bermula di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas

Sejarah musik Batak, sejarah yang belum pernah ditulis (lihat pada artikel lain dalam blog ini). Musik Batak modern haruslah dibedakan dengan musik tradisi Batak. Akar musik modern Batak adalah musik tradisi Batak. Oleh karena itu, memahami sejarah musik modern Batak haruslah memulai memahaminya dari musik tradisi Batak. Namun apa itu musik tradisi Batak terdapat kesalahan pemahaman. Kesalahan mendasar adalah melihat musik tradisi Batak dari sudut pandang masa kini. Akibatnya, musik modern Batak dianggap sebagai musik tradisi Batak. Untuk memahami secara tepat musik tradisi Batak haruslah dilihat dari sudut pandang masa lampau. Dengan cara begitu dimungkinkan untuk menjelaskan bagaimana proses evolusi musik tradisi Batak bertransformasi menjadi musik modern Batak. Proses kontiniu inilah sejarah musik Batak.

Untuk memahami sejarah musik Batak sejumlah pertanyaan akan membawa kita ke masa lampau. Kapan musik tradisi itu ada? Apa yang menyebabkan musik tradisi Batak terbentuk? Siapa yang memainkan atau menggunakan musik tradisi tersebut? Bagaimana asal-usul (instrumen) musik tradisi Batak itu? Dimana musik tradisi Batak itu bermula? Sejak kapan musik tradisi Batak mulai dicatat? Kapan musik tradisi Batak itu dikenal secara luas? Mengapa musik tradisi Batak bertransformasi menjadi musik modern Batak. Semua pertanyaan itu memerlukan jawaban dan penjelasan. Mari kita lacak!

Keutamaan musik tradisi Batak pada masa ini, karena memiliki sejarah yang panjang. Musik tradisi Batak mengikuti religi Batak kuno, suatu religi yang terkonstruksi karena adanya pengaruh Budha dan Hindu (yang dimulai di sekitar percandian Budha/Hindu di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas). Gondang dan ogung adalah musik dalam berkomunikasi dengan sang Pencipta. Alat gondang yang dikreasi sendiri penduduk lokal dikombinasikan dengan ogung (gong) yang diimpor kemudian dari Tiongkok. Cikal bakal musik tradisi Batak yang berakar pada pengaruh India dan Tiongkok ini berkembang sedemikian rupa dengan masuknya elemen alat-alat musik lainnya dari luar.

Secara teoritis, musik tradisi Batak bermula di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas. Suatu situs kuno dimana di masa lampau terdapat pengaruh India dan Tiongkok yang intens. Musik tradisi Batak kali pertama dicatat di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas. Dalam perkembangannya, musik tradisi Batak di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas mengalami hambatan dengan masuknya pengaruh Islam, namun indiferensi pemerintah kolonial Belanda, musik tradisi Batak mulai dilestarikan dan terus eksis. Orang Belanda terheran-heran, ketika mereka kali pertama datang tidak menyangka di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas menemukan ensambel-ensambel musik (gondang dan ogung yang dikombinasikan dengan instrumen lain) yang mereka katakan mirip orchest atau band di Eropa--sesuatu yang tidak mereka temukan di tempat lain di nusantara (lihat TJ Willer, 1845). Sementara di tempat lain, di Silindoeng (dan Toba) para misionaris melarang musik tradisi Batak, karena dianggap bagian dari kepercayaan kuno, tetapi sebaliknya pengikut Sisingamangaradja tetap melestarikannya. Oleh karenanya, musik tradisi Batak dalam kenyataannya tetap eksis di Tanah Batak. Dalam perkembangan berikutnya, para perantau Batak kemudian membawa musik tradisi Batak ke Batavia (kini Jakarta). Di perantauan, oleh orang-orang Sipirok musik tradisi Batak mengalami transformasi menjadi musik modern Batak. Pada tahun 1937, Karl Halusa, doktor (PhD) dalam bidang musik dari Universitas Wina mengunjungi Tanah Batak unruk mempelajari musik tradisi Batak. Dr. Halusa menemukan sedikitnya ada 40 jenis instrumen musik Batak, baik yang dimainkan laki-laki maupun perempuan, Suatu jumlahyang cukup banyak dibanding etnik lain (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23-03-1938). Satu hal, meski musik modern Batak semakin berkembang di perantauan (Batavia), musik tradisi Batak juga tetap dilestarikan. Grup musik modern Batak pertama di Batavia adalah Sinondang, suatu grup musik orang-orang Sipirok, dimana kemudian Gordon Tobing ikut bergabung.

Bagainmana proses evolusi musik tradisi Batak dan bagaimana musik tradisi Batak bertransformasi menjadi musik modern Batak adalah bagian tidak terpisahkan dari sejarah panjang musik Batak itu sendiri. Di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas, secara teoritis asal mula musik tradisi Batak, dalam musik modern Batak akan kita temukan banyak variasi. Pada masa kini, musik modern Batak seakan terpilah-pilah antara lagu-lagu (suara) dan nada-nada (bunyi) utama di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas di satu pihak, dan Silindoeng, Toba, Simalungun, Pakpak/Dairi dan Karo di lain pihak. Namun sesungguhnya semuanya berakar  pada musik tradisi Batak (berbasis gondang dan ogung).

Yang membuat variasi karena masuknya elemen-elemen baru apakah karena pertukaran budaya (Karo dengan Atjeh; Simalungun dengan Melayu) adanya pengaruh agama (Angkola, Mandailing dan Padang Lawas yang dipengaruhi Islam/Timur Tengah; Silindoeng dan Toba yang dipengaruhi Kristen/Eropa). Faktor-faktor tersebut mempengaruhi lagu dan nada.

Lantas bagaimana dengan pengaruh Budha/Hindu dalam musik modern Batak. Padahal sejatinya musik modern Batak adalah transformasi musik tradisi Batak. Sementara musik tradisi Batak berakar dari pengaruh Budha/Hindu. Dalam musik modern Batak, hingga kini, hanya di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas pengaruh Budha/Hindu itu yang masih terasa. Dengan kata lain, nada-nada dan lagu-lagu yang berakar dari pengaruh Budha/Hindu hanya tersisa di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas. Pengaruh itu tersimpan dalam religi kuno (kepercayaan orang Batak kuno) yang mana religi kuno ini tidak terpisahkan dengan musik kuno yang membentuk musik tradisi Batak.

Lagu Kijom adalah salah satu wujud lagu-lagu Batak yang berakar dari religi kuno dari pengaruh Budha/Hindu. Lagu Kijom boleh dikatakan, lagu yang dinyanyikan dengan suara yang padu dengan nada dari alat-alat musik tradisi Batak. Lagu Kijom juga harus disertai tortor (tarian). Ketika elemen lagu Kijom (lagu, nada dan tari) satu kesatuan. Tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Itulah hakekat lagu Kijom yang berevolusi dari religi kuno (pengaruh Budha/Hindu) ke musik tradisi Batak (menjadi heritage dan local content) yang kemudian ditransformasikan ke musik modern Batak. Lagu Kijom bernuansa lagu religi kuno yang diperkuat dengan nada-nada kuno pada musik tradisi Batak (berbasis gondang dan gong). Lagu Kijom, dari sisi musikal bersifat ritmik (semacam pemujaan kepada sang Pencipta). Mendengar lagu dan nada pada lagu Kijom membuat pendengar bergetar apapun etniknya dan apapun agamanya. Lagu Kijom selalu dilakukan dengan penjiwaaan (sifat universal manusia), sebab lagu Kijom adalah laga dan nada purba (era Batak kuno) yang masih eksis hingga ini hari di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas.      

Musik Klosal

Sejarah Oleh Oleh

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar: