Senin, Mei 22, 2017

Sejarah Kota Medan (55): Medan dan Binjai, Kota Kembar; Peran Moda Transportasi Kereta Api Perkebunan di Deli dan Langkat

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disin


Kota lama di Langkat dan di Deli adalah Tandjongpoera dan Laboehan—kota pelabuhan yang menjadi simpul perdagangan dari pedalaman dan menjadi tujuan perdagangan internasional—sudah berkembang sejak lama, jauh sebelum kehadiran Belanda. Dua kota pelabuhan ini terkenal sebagai pusat perdagangan komoditi lada dan tembakau di Sumatra’s Oostkust. Juga terkenal sebagai eksportir kuda-kuda dari Bataklanden.

Deli Mij, Medan of Medan Poetri (1876)
Pemerintah Hindia Belanda memulai pemerintahan di Deli pada tahun 1863 dengan menempatkan seorang controleur di Laboehan (Baron de Raet van Cat). Sedangkan di Langkat-Tamiang pemerintahan baru dibentuk kemudian pada tahun 1876 dengan menempatkan controleur di Tandjongpoera (Bataviaasch handelsblad, 20-04-1876).

Controleur Deli di Laboehan adalah C. de Haan yang memulai bertugas pada tahun 1865. Tugas pertama controleur Deli ini adalah melakukan ekspedisi ke Bataklanden yang dilakukan tahun 1866 (tiga tahun setelah kehadiran controleur).

Tugas ini menjadi penting bagi controleur karena sudah mulai ada reaksi dari penduduk Batak di hulu. Hubungan ke hulu secara ekonomi lebih penting daripada di sepanjang pantai. Controleur mengabaikan tugas menyatukan Melayu (Deli, Langkat dan Serdang). Tentu ini sangat penting, karena kemajuan transaksi dagang di pelabuhan Laboehan di Deli sangat tergantung aliran komoditi dari penduduk Batak baik yang berada di belakang pantai (dataran rendah) maupun yang berada di pegunungan (dataran tinggi). Sebab tujuan utama kolonisasi adalah perdagangan dan keuntungan. Inilah yang dilakukan Controleur untuk memahami kunci keberhasilan Deli itu melakukan ekspedisi ke Tanah Batak pada bulan Desember 1866 hingga Januari 1867.

Pasca ekspedisi ke Bataklanden, ternyata kemudian menjadi awal perluasan perkebunan yang dipelopori Nienhuys dan kawan-kawan dengan membuka kawasan Medan Poetri tahun 1869. Sejak itu investor baru yang datang dari Jawa dan Eropa bermunculan. Deli menjadi pusat pertumbuhan baru perkebunan di Hindia Belanda, apalagi Terusan Suez sudah dibuka sejak 1869.

Pusat usaha bisnis perkebunan Nienhuys dkk (Deli Mij.) di Medan Poetri menjadi check point perluasan perkebunan di pedalaman dengan semakin menjamurnya investor baru: ke timur di Serdang, ke barat di Langkat Hulu (Langkat Bocvenlanden) dan ke selatan di Deli Toea. Pusat perkantoran Deli Maatschappij di Deli Poetri lambat laun menjadi semacam kota baru (sekitar Lapangan Merdeka yang sekatang). Nama Medan Poetri mengalami pergeseran menjadi Medan dan nama Medan semakin popular dibanding Medan Poetri. Lambat laun nama Medan Poetri hilang.

Sejak 1870, reaksi penduduk Batak di belakang pantai mulai bermunculan. Ini sehubungan dengan semakin meluasnya lahan-lahan perkebunan ke segala arah di sekitar Deli Mij. (Medan). Sultan Deli yang bertempat tinggal di Laboehan yang bekerjasama dengan controleur Deli merupakan actor utama dibelakan pemberian konsesi lahan kepada para investor. Di sisi lain, penduduk yang merupakan pewaris lahan lambat laun digusur dari tanah miliknya. Controleur adakalanya menggunakan militer atas persetujuan Sultan untuk membebaskan lahan. Lahan perkebunan terjadi di Langkat sudah sampai di lokasi yang disebut Timbang (kota dimana Binjai yang sekarang).

Peta Timbang-Langkat dan Bindjai. 1873
Ketegangan antara pemimpin penduduk di satu sisi dengan controleur dan Sultan di sisi lain makin memuncak: munculah perlawanan penduduk yang dipimpin Radja Soenggal (Radja Soenggal menganggap Sultan sudah bertindak arogan). Pertikaian pertama muncul pada tahun 1872 di Timbang-Langkat. Ini menyusul setelah sebelumnya terjadi pemberontakan koeli Tjina di Pertjoet yang membunuh pemilik orang Eropa dan beberapa tenaga kerja orang Melayu. Sejak kerusuhan di Pertjoet dan Timbang-Langkat satu datasement militer ditempatkan di Medan, yang kemudian membentuk kampement militer (kelak menjadi garnisun militer).

Datasement militer (yang berbasir di Medan) mendapat tugas berat karena eskalasi politik di Medan dan sekitarnya semakin memanas. Puncak perlawanan penduduk yang dipimpin Radja Soenggal memakan korban baik di pihak penduduk maupun di pihak militer Belanda. Perang antara penduduk dan Belanda ini disebut Perang Soenggal.

Perlawanan penduduk makin lama makin tidak seimbang dengan semakin ditingkatkannya jumlah tentara dan logistic di Medan. Akhirnya perlawanan penduduk melemah dan mundur ke pedalaman dan pada waktu-waktu tertentu tetap melakukan gerilya ke batas-batas perkebunan dengan menganggu dan bahkan menyerang para planter.

Dengan semakin meningkatnya peran militer di pedalaman untuk menjaga keamanan, lambat laun situasi dan kondisi sudah memungkinkan membentuk pemerintahan sipil di Medan. Sejak 1875 Afdeeling Deli ditingkatkan statusnya dari Controleur menjadi Asisten Residen. Afdeeling Deli terdiri dari dua onderafdeeling: Laboehan dan Medan. Di Laboehan controleur digantikan Asisten Residen dan di kota Medan ditempatkan seorang controleur. Asisten Residen Deli juga membawahi Tandjoengpoera dan pada tahun 1876 di Tandjongpoera seorang controleur.

Peta konsesi perkebunan di Deli dan Langkat, 1875
Hubungan lalu lintas antara Tandjoengpoera (Langkat Benelanden) dengan Langkat Hulu (Langkat Bovenlanden) yang berpusat di Timbang (Timbang-Langkat) ternyata lebih sulit jika dibandingkan antara Medan (ibukota onderafdeeling Medan) dengan Timbang Langkat. Oleh karena itu, hubungan Medan dan Timbang makin lama, makin hari Medan dan Timbang semakin pesat, maka kedua tempat utama di pedalaman terbentuk sebagai kota. Medan dan Kesawan makin menyatu menjadi Kota Medan, Timbang dan Bindjai semakin menyatu menjadi Kota Bindjai. Kota Medan sebagai kota utama dan Kota Binjai sebagai kota satelit lambat laun semakin dekat satu sama lain sehubungan dengan ibukota Deli pada tahun 1879 dipindahkan dari Laboehan ke Medan dan pembangunan moda transportasi kereta api (1881): Medan-Laboehan, Medan-Timbang dan Medan-Deli Toea. Pada tahun 1887 (ketika ibukota Residentie Sumatra’s Oostkust dipindahkan dari Bengkalis ke Kota Medan, Kota Bindjai sudah semakin berkembang, sebaliknya kota Laboehan semakin mundur.

Kota Medan dan Kota Bindjai pada awalnya berkekembang secara perlahan (kota kembar), tetapi kemudian kecepatan tumbuh Kota Medan jauh lebih cepat dibandingkan Kota Bindjai, maka Kota Medan sudah jauh meninggal Kota Bandjai (kota baru) dan dua kota lama (Laboehan dan Tandjongpoera).

Pada tahun 1909 Kota Medan statusnya ditingkatkan menjadi Gemeente. Pada tahun 1915 Kota Medan menjadi ibukota Province Oost van Sumatra (nama lain sebelumnya Sumatra’s Oostkust). Pada tahun 1917 Kota Bindjai ditingkatkan statusnya menjadi Gemeente. Kota Tandjongpoera dari status controleur menjadi Asisten Residen, kedudukan Asisten Residen tetap berada di Tandjongpoera.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar: