Minggu, November 27, 2016

Sejarah Kota Medan (53): Monumen Tamiang di Esplanade, 1894; Simbol Kekalahan Militer Belanda di Tamiang; Hulubalang Deli Juga Turut Gugur

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disin


Monumen Tamiang di Esplanade Medan, 1910
Pada masa ini Tamiang adalah bagian dari Provinsi Aceh, tetapi Tamiang tidak termasuk dalam Perang Aceh yang dimulai tahun 1873 dan berakhir tahun 1904. Perang Tamiang tahun 1893 adalah perang yang setara dengan Perang Sunggal (1974). Perang Tamiang telah membawa korban banyak diantara tentara Belanda dan para hulubalangan Kesultanan Deli. Untuk mengenang perang tersebut di Esplanade (kini Lapangan Merdeka) tahun 1894 dibangun sebuah monument yang diberinama Monumen Tamiang.

Ketika peringatan Hari Proklomasi Kemerdekaan RI yang kelima (1950) di Esplanade monumen ini masih ada. Ketua Panitia Perayaan adalah GB Josua (Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-08-1950). GB Josua adalah salah satu dari empat orang republik yang menjadi pimpinan komite penyerahan kedaulatan dari Negara Sumatera Timur (NST) ke Republik Indonesia (Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-11-1949). Pada peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI yang keenam (1951) yang diketuai oleh Gubernur Sumatra Utara sempat muncul keinginan untuk membongkar Monumen Tamiang ketika Esplanade diubah namanya menjadi Lapangan Merdeka. Gubernur Sumatra Utara yang pertama setelah pengakuan kedaulatan RI adalah Abdul Hakim Harahap (1951-1953). Monumen Tamiang ini baru dibongkar pada tahun 1958 pada era Gubernur Gubernur Sumut Sutan Komala Pontas.

Monumen Tamiang Dibangun

Pada tahun 1893 Afdeeling Tamiang masih bagian dari Residentie Sumatra’s Oostkust (seperti halnya Afdeeling Singkel bagian Residentie Tapanoeli). Perang Aceh adalah perang yang relatif bersamaan dengan Perang Batak (Sisingamangaradja). Perang Aceh dalam hal ini tidak termasuk wilayah Tamiang dan Singkel, tetapi sebaliknya menjadi wilayah luar Perang Batak.

Dalam Perang Batak dan Perang Aceh banyak jalur yang digunakan oleh militer Belanda. Jalur Singkel (sungai Singkel) dan jalur Tamiang (sungai Tamiang) digunakan militer Belanda untuk membelah kekuatan perlawanan dalam Perang Batak dan Perang Aceh.

Untuk menguasai dua wilayah perang secara bersamaan (Perang Aceh di Aceh dan Perang Batak di Bataklanden) militer Belanda tidak lazim menggunakan balabantuan pribumi dari daerah yang berdekatan (apalagi yang satu etnik). Oleh karenanya balabantuan didatangkan dari jauh. Dalam Perang Batak dibantu pribumi dari Jawa, Madoera dan Ambon. Hal ini juga yang terjadi dalam Perang Aceh. Namun dalam Perang Aceh, terutama di Tamiang balabantuan dari para hulubalang Kesultanan Deli dilibatkan (atau melibatkan diri?).

Pemimpin Batak di Soenggal, 1870
Dalam Perang Sunggal para hulubalang Kesultanan Deli belum dilibatkan dalam perang, tetapi diantaranya banyak yang digunakan sebagai mata-mata Belanda. Perang Sunggal adalah perang atas persetujuan Sultan Deli, ketika para komandan militer di Deli meminta pendapatnya. Persetujuan Sultan dan pengerahan mata-mata karena alasan untuk mengamankan konsesi tanah-tanah penduduk Batak yang telah diserahkan Sultan kepada para planter sebagai hak konsesi. Perang Sunggal adalah perang melawan para planter dan kemudian direspon Sultan, Controleur dan Komandan Detasemen Deli.  

Setali tiga uang, para planter di Langkat juga menghadapi perlawanan dari para pemimpin dan penduduk Tamiang. Alasannnya sama dengan perlawanan yang dilakukan para pemimpin dan penduduk di Sunggal dan sekitarnya. Alasan lainnya dari para pemimpin dan penduduk Tamiang karena eksplorasi minyak sudah sampai ke Tamiang setelah sebelumnya terkonsentrasi di Langkat (Pangkalan Brandan).

Hulubalang Deli di Perang Tamiang, 1893
Pada April 1893 suatu ekspedisi militer dikirim ke Tamiang melalui jalur sungai Tamiang. Ekspedisi ini datang dengan kapal besar yang di dalamnya juga terdapat para hulubalang Kesultanan Deli. Hal ini boleh jadi karena militer Belanda kekurangan balabantuan dari Jawa dan Ambon yang masih terkonsentrasi di Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Bataklanden. Jika di wilayah DOM lainnya jarang terjadi tetapi di pantai timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust) benar-benar terjadi. Boleh jadi Sultan Deli dan parahulubalang Kesultanan Deli memiliki dendam terhadap para hulubalang dari Atjeh. Sebagaimana diketahui Kesultanan Deli di Laboehan baru terbebaskan dari para hulubalang Atjeh ketika Resident Netscher 1863 datang ke Laboehan (Deli). Sejak 1863 Deli berada dibawah penaklukan Belanda.

Ekspedisi ke Tamiang ini mendapat perlawanan. Perang Tamiang ini memakan banyak korban, selain tentara angkatan laut Belanda juga para hulubalang Kesultanan Deli. Untuk mengenang para pahlawan yang gugur di Perang Tamiang lalu dibangun Monumen Tamiang di tengah kota, tepatnya di lapangan Esplanade pada tahun 1894 (berseberangan dengan stasion).

Monumen Tamiang, 1930
Pembangunan monumen ini boleh jadi sangat emosional. Jarang terjadi dilakukan di Hindia Belanda, apalagi bersifat lokal (nama Tamiang) karena biayanya tidak murah. Namun hal itu tidak ada kendala di Medan. Bangunan sekecil itu tidak ada artinya dibanding dengan bangunan-bangunan lain, seperti istana Maimun dan Masjid  Mahsum. Persetujuan Sultan dan atas pengorbanan para hulubalang jaminan perlunya monumen dibangun untuk memperingati para pahlawannya. Jasa para pahlawan perang Belanda di Medan sebelumnya baru sekadar ditabalkan sebagai nama jalan sebagaimana dalam Peta 1896 yakni Jalan Demmeni (kini Jalan Raden Saleh). Demmeni adalah komandan militer dalam Perang Sunggal. Monumen Tamiang dibangun tahun 1894. Di dalam monumen ini dicatat nama-nama yang gugur. Penghormatan para pahlawan dilakukan dengan meletakkan karangan bunga setiap tanggal 30 April di Monumen Tamiang sejak 1914.

Radja Sabarudin

Pada tahun 1903 Afdeeling Tamiang dipisahkan dari Sumatra’s Oostkust dan dimasukkan ke Residentie Atjeh. Selanjutnya pada tahun 1905 Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkut. Afdeeling Singkel yang sebelumnya bagian dari Residentie Tapanoeli kemudian dimasukkan ke Residentie Atjeh.

Salah satu pahlawan Belanda dalam Perang Tamiang adalah Radja Sabarudin. Radja Sabarudin adalah kerabat kesultanan yang terlibat mendukung militer Belanda. Atas kontribusinya di Atjeh dan kesetiaannya terhadap pemerintah kolonial Belanda, R. Sabarudin dianugerahi bintang Zilveren Ster voor Trouw en Verdienste, Militaire Willemsorde 4de kl (lihat De Preanger-bode, 23-07-1924).

Kapal ekspedisi ke Tamiang, 1893
Sehabis berdinas di perang Atjeh, Radja Sabarudin terdeteksi bertempat tinggal di Tandjong Poera (De Sumatra post, 10-05-1902).  Radja Saburudin menjadi posthouder di Kepulauan Seribu, Batavia. Pada tahun 1907 dipindahkan menjadi Komandan Pasar Senen (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 25-02-1907). Radja Sabaroedin diangkat menjadi wedana di Weltevreden (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 22-08-1910). Kemudian Radja Sabaroedin ditunjuk menjadi anggota dewan kota (gementeeraad) Batavia (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 29-04-1913). Namun karir Radja Sabaroedin mendapat masalah. De Preanger-bode, 09-06-1915 melaporkan dalam kasus pembunuhan Fientje Phoenix, Radja Sabaroedin sebagai wedana diduga terlibat menerima suap dalam pembebasan pelakunya. Atas kasus itu Radja Sabaroedin dipecat (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-06-1915). Radja Sabaroedin yang telah memiliki masa bakti selama 35 tahun dalam pelayanan negara tamat dan hilang sekejap. Radja Sabaroedin kemudian pulang kampong ke Medan. Pada saat di Medan inilah R. Sabarudin mulai menggeluti investasi pers yang dalam hal ini investasi baru di Benih Mardeka. Radja Sabaroedin mengakuisisi saham Mohamad Samin dan Abdullah Lubis di surat kabar Benih Mardeka. Radja Sabaroedin menjadi direktur NV. Setia Bangsa. Karakter Benih Mardeka yang revolusioner mulai kendor setelah Radja Sabaroedin mulai intens di Benih Mardeka dan posisi kepala editor dipegang oleh M. Joenoes. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-09-1923: ‘Ulang tahun edisi surat kabar pribumi berbahasa Melayu yang muncul di Medan, Benih Mardeha yang diterbitkan oleh NV. Setia Bangsa (yang kini) di bawah direksi Tengkoe Badja Sabaroedin pada tanggal 31 Agustus tahun ini dirilis sejumlah kegiatan yang dihiasi oleh berbagai potret termasuk anggota keluarga kerajaan dan otoritas administratif tertinggi dan pemerintah SOK (Sumatra’s Oostkust), pelopor perkebunan Deli Cramer dan Nienhuys’. Tengkoe Radja Sabaroedin dikabarkan meninggal dunia tahun 1924 dalam usia 63 tahun di Batavia (De Sumatra post, 21-07-1924).

Monumen Tamiang menjadi situs penting bagi militer di Medan sejak dibangun. Untuk memperkuat semangat militer dan mengenang para pahlawannya di medan perang Monumen Tamiang sering dijadikan sebagai situs pernghormatan.

De Sumatra post, 30-08-1937: ‘Besok pagi setelah militer berbaris melalui Medan akan dimulai dari garnisun Medan sekitar pukul 8 pagi, tentara Hindia Belanda akan berakhir dan ditempatkan di Monumen Tamiang di Esplanade. Pawai militer mengambil rute sebagai berikut: Barracks, Bentengweg, Kampementsweg, Manggalaan, Jan Lighartlaan, Poloniaweg, Kantor Resident dimana Resident akan menyambut di Soekamoeïia, Paleisweg, Smidstraat, Kapiteinsweg, Wilhelminastraat, Kesawan, Cremerweg lalu ke Menumen Tamiang’.

Satu saksi sejarah dalam Perang Tamiang adalah Herman A. Lefebre (Bataviaasch nieuwsblad, 27-05-1941). Lefèbre datang ke Belawan pada usia 21 tahun dan kemudian membuka kebun. Ketika terjadi ekspedisi Tamiang, 1893, Lefebre adalah bertindak sebagai koresponden Deli Courant. Pada tahun 1941 sebagaimana dilaporkan Bataviaasch nieuwsblad tengah merayakan ulang tahunnya yang ke 75. Herman A. Lefebre adalah tinggal satu-satunya warga Eropa/Belanda yang ikut ekspedisi masih ada di Medan saat itu.

Monumen Tamiang Dibongkar

Monumen Tamiang ini bertahan hingga tahun 1958. Monumen ini menjadi monumen pengikat kolaborasi Belanda dengan pribumi yang sangat kental, antara pemerintah dan militer Belanda dengan kesultanan dan para hulubalang. Kolaborasi ini berakhir dengan berakhirnya kekuasaan kolonial di Medan. Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, Monumen Tamiang sebagai salah satu jejak Belanda yang berbau kekejaman dan penindasan dihilangkan. Penghilangan ini sempat muncul bertepatan jelang perayaan Hari Kemerdekaan keenam tahun 1951 di Lapangan Merdeka.

Monumen-monumen yang dibongkar selain Monumen Tamiang adalah Monumen van Heutz di Jakarta dan Monumen van Swieten di Bali (De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 03-04-1958). Monumen van Heutz, pahlawan Belanda di Atjeh dibongkar tahun 1953 yang diatasnya dibangun Masjid Cut Meutia. Sementara nama jalan van Heutz di Jakarta diganti menjadi jalan Teuku Umar.

Di Lapangan Merdeka (ex Esplanade) tidak hanya Monumen Tamiang yang dibongkar, tetapi juga satu buah replika bangunan adat yang disebut jambur. Pembongkaran jambur ini tidak dikaitkan dengan menghilangkan jejak kolonialisme melainkan untuk mendudukkan kembali lapangan pada bentuk aslinya agar lapangan yang berubah nama menjadi Lapangan Merdeka tampak lebih luas. Disamping itu kemungkinan besar bahwa bangunan adat Karo itu telah kehilangan relevansi ketika Medan menjadi ibukota Sumatra Utara (bukan lagi ibukota Sumatra’s Oostkust).

Jambur di Esplanade Negara SumatraTimur, 1948
Bangunan replika jambur Karo yang terdapat di Esplanade yang tidak jauh dari Monumen Tamiang pertamakali dilaporkan pada tahun 1948. Bangunan ini tidak ditemukan ketika kedatangan sekutu ke Medan. Bangunan ini diperkirakan muncul pada awal tahun 1948 setelah berdiri Negara Sumatera Timur (NST). Sebagaimana diketahui dalam pembentukan NST (negara boneka Belanda) peran Belanda sangat intens untuk merangkul kerajaan/kesultanan Melayu, Simalaoengoen dan Karo agar turut bergabung. Bangunan replika Karo ini boleh jadi muncul sebagai simbol wujud hadirnya Kerajaan Karo di Sumatra Timur yang beribukota Medan. Sementara itu sebagian para pemimpin dan penduduk Karo yang tetap republik lebih memilih ikut mengungsi ke Tapanuli daripada ikut bergabung dengan Negara Sumatra Timur. Jambur sendiri adalah bangunan public yang umumnya dibangun untuk berbagai tujuan, termasuk tempat pria muda tidur di malam hari dan juga menjadi tempat bagi orang asing yang berkunjung. Alasan mengapa hadir jambur Karo di Esplanade mengingatkan kita alasan mengapa Monumen Tamiang didirikan di Esplanade.Dalam foto-foto parade militer tahun 1950 pada perayaan Hari Kemerdekaan RI (yang pertama setelah pengakuan kedaulatan RI) di Lapangan Merdeka tidak tampak lagi jambur Karo tersebut (Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-08-1950). Empat pembicara dalam upacara HUT RI tersebut adalah GB Josua Batubara, Sugondo, Kolonel Simbolan dan Sarimin R (pejabat Kementerian Dalam Negeri). Catatan: Monumen Tamiang masih tetap ada karena tidak bisa seenaknya dibongkar karena harus melalui proses penyerahan terlebih dahulu dengan Belanda. Karena itu baru tahun 1958 Manomen Tamiang bisa dibongkar.

Pada tahun 1950 setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, Provinsi Sumatra Utara yang beribukota di Medan dibagi menjadi tiga keresidenan: Tapanuli, Atjeh dan Sumatra Timur. Kemudian pada tahun 1956 setelah terjadi pemberontakan di Atjeh, dibentuk Provinsi Atjeh, sedangkan Tapanuli dan Sumatra Timur dijadikan satu provinsi, yakni Sumatra Utara.

Nama Sumatra Utara sudah muncul pada tahun 1927 ketika dilakukan pemilihan anggota Volksraad. Residentie Tapanuli dan Residentie Atjeh dijadikan satu daerah pemilihan (dapil) yang diberinama dapil Sumatra Utara. Sedangkan Province Sumatra Timur menjadi satu dapil tersendiri. Wakil dari masing-masing dapil satu orang ke Volksraad di Batavia. Yang terpilih dari dapil Sumatra Utara adalah Dr. Alimoesa Harahap, sedangkan di Sumatra Timur yang terpilih adalah Mr. Mangaradja Soangkoepon. Keduanya adalah kelahiran Padang Sidempuan.

Nama Sumatra Utara dengan sendirinya adalah nama yang telah lama melekat pada Tapanuli. Ketika awal kemerdekaan Sumatra dibagi menjadi tiga provinsi (utara, tengah dan selatan)/ Provinsi Sumatra Utara kemudian dibangi tiga keresidenan (Tapanuli, Atjeh dan Sumatra Timur). Dalam perkembangannya, Keresidenan Atjeh dibentuk provinsi Aceh, sementara Keresidenan Tapanuli dan Keresidenan Sumatra Timur menjadi satu provinsi yang tetap menggunakan nama Sumatra Utara, nama yang sudah ada sejak 1927.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

2 komentar:

Alamsyah mengatakan...

itu bukan datuk sunggal tetapi datuk hamparan peran

Akhir Matua Harahap mengatakan...

Anda benar. Foto tertukar dengan Datoe van Soenggal sesuai sumber KITLV