Sabtu, Januari 18, 2014

Benteng ‘Fort’ Elout di Mandailing: ‘Front’ Pendudukan Belanda di Wilayah Tapanuli


Benteng Elout (Fort Elout) adalah suatu benteng yang didirikan oleh pasukan Belanda setelah berhasil menduduki daerah Mandailing. Lokasi benteng awalnya berada di Kotanopan kemudian dipindah ke Panyabungan. Benteng Fort Elout yang bermula dibangun di Kotanopan dimaksudkan untuk ‘jangkar’ penyerangan ke Benteng Bonjol dari arah utara dan sekaligus tembok pertahanan dalam memulai pendudukan daerah Mandailing. Setelah Benteng Bonjol berhasil direbut (1837), pihak Belanda memindahkan lokasinya ke Panyabungan. Tujuan pemindahan ini selain untuk menjaga stabilitas di daerah Mandailing yang sudah diduduki, juga dimaksudkan untuk ‘front’ dalam upaya merebut daerah Angkola dan daerah Sipirok.

Nama benteng ini disebut Fort Elout karena waktu itu Kolonel Elout yang ditunjuk untuk memulai pendudukan ke daerah Tapanuli. Sebelumnya Elout (masih berpangkat Letnan Kolonel) berhasil melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri di daerah Minangkabau antara tahun 1831-1832. Penempatan Kolonel Elout di daerah Tapanuli tentu saja untuk tujuan ganda: membantu penyerangan ke Benteng Bonjol (di Minangkabau) dan menyiapkan penguasaan daerah baru (di Tapanuli).
***
Awalnya Mayor Eiler yang dikirim ke Tapanuli pada tahun 1833. Pasukan Elier mendarat di Natal dan kemudian memasuki Mandailing. Di Pakantan Mayor Elier membangun tangsi pasukan dan berhasil membuat perjanjian dengan raja-raja Mandailing. Dalam tahun yang sama (1833) menyusul Kolonel Elout dengan membawa pasukan yang lebih besar. Tidak terlalu lama pada tahun 1834 pasukan Kolonel Elout sudah berhasil menduduki daerah Angkola dan daerah Sipirok.
Peta Mandheling 1843-1847

Pada tahun 1833 juga Belanda memulai pemerintahan di wilayah Tapanuli dengan mengangkat Doewes Dekker sebagai Asisten Resident Natal-Mandailing yang berkedudukan di Natal. Wilayah Tapanuli (daerah Mandailing, Angkola dan Sipirok) dianggap keamanannya sudah berhasil dikendalikan sehingga ketiga daerah ini dijadikan sebagai Direct Bestuurd Gabied (daerah pangreh praja) dari Resident di Air Bangis dan Gubernur Sumatra Westkust di Padang. Pada tahun 1838 (setahun setelah Benteng Bonjol jatuh) kedudukan Asisten Residen di Natal dipindahkan ke Panyabungan dengan nama Asisten Residen Mandailing-Angkola. Pada fase inilah Benteng Fort Elout dibangun. Sebab, pihak Belanda menganggap wilayah Tapanuli masih rawan keamanan karena Tuanku Tambusai (Hamonangan Harahap) masih bergerilya di daerah Padang Lawas. Dari benteng ini Mayor Van Beethoven dan pasukannya dikirim ke Padang Lawas hingga Portibi yang kemudian disusul oleh Kolonel Michiels yang berhasil menguasai Dalu-Dalu sebagai perlindungan terakhir Tuanku Tambusai.

Kantor Keresidenan Tapanuli di Panyabungan, 1870
Nama-nama Asisten Residen selama di Panyabungan antara lain Willer dan Godon. Selanjutnya Asisten Residen Mandailing-Angkola ditingkatkan menjadi Residen Tapanuli dibentuk tahun 1842 yang dengan sendirinya Wilayah Tapanuli di bawah Residen Air Bangis berakhir. L.A. Galle adalah Residen pertama Keresidenan Tapanuli pada tahun 1843. Namun pangkatnya Galle hanya sebagai Asisten Residen. Sedangkan residen setelah Galle adalah Mayor (kemudian Letnan Kolonel) A van der Hart dengan pangkat residen pada periode 1844-1847. Untuk residen berikutnya lihat artikel di dalam blog ini berjudul “Residen Tapanuli: Natal, Panyabungan, Padang Sidempuan dan Sibolga”

***
Namun demikian, tidak mudah untuk menaklukkan wilayah Tapanuli, sebab daerah Padang Lawas baru dikuasasi pada tahun 1863, daerah Silindung pada tahun 1873 dan daerah Toba tahun 1881. Untuk mengefektifkan penguasaan wilayah Tapanuli, Kresidenan Tapanuli tahun 1884 dipindahkan dan berkedudukan di Padang Sidempuan. Residen pada masa perpindahan tersebut adalah C.F.E. Praetorus yang menjabat Residen Tapanuli selama lima tahun (1882-1887).

Jembatan Batang Toru, 1905
Setelah semua daerah di wilayah Tapanuli dianggap kondusif, lantas kemudian Keresidenan Tapanuli yaang semula berkedudukan di Padang Sidempuan dipindahkan lagi ke Sibolga pada tahun 1905. Keresidenan Tapanuli yang berkedudukan di Sibolga dipisahkan dari Goverrment Sumatra Westkust dan komando pemerintahan langsung dari Batavia. Pada tahun ini perlawanan Sisingamangaraja XII sudah mulai mengendur yang akhirnya Pahlawan Nasional ini tewas tertembak oleh pasukan Belanda pada tahun 1907. Nama Residen yang menjabat pada fase ini adalah L. C. Welsink yang menjabat cukup lama dari tahun 1898 hingga1908 (karena meninggal dunia). Sedangkan Residen Tapanuli yang terakhir adalah Dr. V.E. Korn yang menjabat dari 29 September 1936 hingga 23 Maret 1939 (stop karena perang dunia pertama).

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap dari berbagai sumber, antara lain:
-Neerlandia. Volume 13. V / jam Morks & Geuze, Dordrecht 1909 (http://www.dbnl.org).
-Parlindungan, MO. 1964.  Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833. Tandjung Pengharapan (http://books.google.co.id).
 -G. L. Tichelman, GL. 1939. Forgotten Kingdoms in Sumatra (http://books.google.co.id).

Tidak ada komentar: