Oleh Akhir
Matua Harahap
Permukaan
bumi (topografi) Tapanuli Selatan pada dasarnya tampak sebagai laut, pantai,
pegunungan dan lembah-lembah yang diantaranya terdapat sungai-sungai dan
danau-danau. Kondisi umum di atas permukaan bumi Tapanuli Selatan sekitar
kemerdekaan Indonesia adalah vegetasi yang terdiri dari hutan (jungle dan forest), kebun-kebun rakyat (tanaman keras dan tanaman pangan) dan
persawahan (padi). Yang sering terlupakan adalah situasi sosial dan ekonomi
wilayah yang direpresentasikan oleh area-area pemukiman penduduk (kota/urban
dan desa/rural); jembatan dan jalan yang menghubungkan arus orang dan barang;
dan bangunan-bangunan lain (perumahan, perkantoran, perpasaran, candi-candi dan
lain sebagainya).
Pada
masa seputar kemerdekaan Indonesia, Tapanuli Selatan adalah bagian dari
Provinsi Sumatera. Pada tahun 1946. Provinsi Sumatera dipecah menjadi tiga
provinsi yakni: Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Provinsi
Sumatera Utara terdiri dari tiga keresidenan yaitu: Aceh, Sumatera Timur dan
Tapanuli. Keresidenan Tapanuli dibagi lagi menjadi empat kabupate yakni Nias,
Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan dengan ibukota
berkedudukan di Sibolga. Pada saat perang kemerdekaan (angresi Belanda ke dua)
Kabupaten Tapanuli Selatan sempat dipecah menjadi tiga kabupaten, yaitu:
- Kabupaten Padang Sidempuan dengan ibukota Padang Sidempuan (terdiri dari Kewedanaan Padang Sidempuan dan Kewedanaan Sipirok).
- Kabupaten Batang Gadis dengan ibukota Panyabungan (terdiri dari seluruh Mandailing, Ulu, Pakantan dan Batang Natal),
- Kabupaten Padang Lawas dan Barumun dengan ibukota Gunung Tua (terdiri dari Padang Lawas dan Barumun).
Pemukiman penduduk
Penduduk
adalah bagian sentral dari suatu wilayah pembangunan, khususnya pembangunan
sosial dan ekonomi. Pada waktu itu, penduduk Tapanuli Selatan sudah lama
menyebar baik di dalam maupun ke luar wilayah Tapanuli Selatan. Persebaran
penduduk di dalam wilayah Tapanuli Selatan waktu itu sudah merata sebagai
konsekuensi penyebaran penduduk secara tradisional membuka huta (‘mamungka huta’)
di masa lalu (sebelum dan setelah Belanda dating). Namun gerak penyebaran
penduduk Tapanuli Selatan masih terus berjalan sebagaimana wujudnya dapat
dilihat pada masa sekarang. Pada waktu sekitar kemerdekaan persebaran
desa-desa, kepadatan penduduk desa-desa dan kepadatan penduduk kota-kota di
wilayah Tapanuli Selatan cukup kontras jika dibandingkan dengan situasi dan
kondisi sekarang akibat adanya perpindahan penduduk. Perubahan wilayah
permukiman penduduk dapat dilihat sebagai akibatkan adanya desa-desa yang
hilang (ditinggal penduduknya), sebaliknya ada desa-desa baru yang terbentuk,
serta ada desa yang berubah menjadi kota dan sebuah kota kecil (town) berkembang menjadi kota besar (city).
Pada
waktu di seputar kemerdekaan Indonesia benchmark
sebuah kota besar adalah Jakarta. Kota Jakarta adalah kota level satu yang
levelnya sama dengan Kota Medan. Ukuran level ini ditentukan oleh ukuran luas
wilayah perkotaan (urban), bangunan-bangunan penting (perkantoran dan
perdagangan), jumlah penduduk (kepadatan), keutamaan daerah sekitar
(sumber-sumber hasil bumi) dan posisi strategis kota dalam sistem pemerintahan
Belanda (kolonial) dan sistem pemerintahan Indonesia (NKRI). Ukuran yang
disebut terakhir ini menjadi tempat atau pusat pendidikan, pusat kebudayaan dan
pusat pergolakan politik serta area perlawanan/pertempuran antara rakyat
Indonesia dengan pasukan/militer Belanda. Berbagai ukuran kota sesuai levelnya
diperlihatkan perbandingannya dalam tabel.
Level
|
Nama Kota
|
1
|
Jakarta
|
Medan
|
|
2
|
Padang
|
Bogor
|
|
3
|
Natal
|
Pematang
Siantar
|
|
Tanjung
Balai
|
|
Kisaran
|
|
Sibolga
|
|
Rantau
Prapat
|
|
Tebing
Tinggi
|
|
Padang
Panjang
|
|
Bukittinggi
|
|
4
|
Padang
Sidempuan
|
Gunung
Tua
|
|
Kotanopan
|
|
Panyabungan
|
|
5
|
Sipirok
|
Batangtoru
|
|
Muara
Sipongi
|
|
Ujung
Batu
|
|
Binanga
|
Di Tapanuli Selatan pada waktu sekitar kemerdekaan Indonesia hanya Kota Natal yang dikategorikan sebagai level tiga. Kota Natal waktu itu sama pentingnya dengan Kota Sibolga, Kota Tanjung Balai dan Kota Pematang Siantar di Sumatera Utara dan Kota Bukit Tinggi di Sumatera Barat. Kota Padang Sidempuan, Kota Gunung Tua, Kota Kotanopan dan Kota Panyabungan dikategorikan sebagai kota level empat. Sedangkan kota-kota lainnya seperti Kota Sipirok, Kota Batangtoru Kota Ujung Batu dan Kota Muara Sipongi dikategorikan sebagai level lima yang hanya satu tingkat di atas huta (desa).
Lalu lintas darat
Di
masa dulu, areal pemukiman penduduk yang disebut huta (desa) sudah tersebar
merata di seluruh wilayah Tapanuli Selatan. Antar huta pada waktu itu sudah
terhubung satu sama lain karena adanya kekerabatan (adat dan perkawinan) dan karena
adanya arus pertukaran barang (barter). Alat pengangkutan masih bersifat
bersahaja seperti kuda beban, sampan dan pedati (kerbau). Jalan-jalan yang
dilalui umumnya masih terbentuk karena pengaruh alam baik yang tingkatannya tampak
sebagai jalan pedati (track), jalan setapak (footpath) atau tanda-tanda jejak (trail)
sebagaimana bias diperhatikan dalam film-film wild west di Amerika Serikat.
Jalan-jalan ini mengikuti daerah aliran sungai, prairie, semak-semak dan
diantara pepohonan di pinggir atau harus menembus hutan belantara. Oleh karena
jalan-jalan ini kerap dilalui maka dalam perkembangannya terbentuk jalan-jalan
penghubung yang selanjutnya menjadi
cikal bakal terbentuknya jalan-jalan arteri di wilayah Tapanuli Selatan.
Ketika
Belanda mulai masuk ke wilayah Tapanuli Selatan, beberapa jalan arteri yang
sudah ada dikembangkan pasukan Belanda dengan bantuan penduduk (sukarela atau
dipaksa) baik dengan menggunakan peralatan tradisional maupun modern seperti
mesin-mesin atau traktor. Sejumlah pertimbangan yang digunakan oleh kavelary
pasukan Belanda dalam membangun jalan sudah tentu berdasarkan elevasi, lalu
lintas orang dan arus perdagangan dan visi misi mereka dalam memperluas
daerah/kawasan yang akan dikuasai. Pembangunan jalan modern di Tapanuli Selatan
dimulai ketika pemerintah Belanda membuka jalan penghubung utama antara Natal
dan Panyabungan yang kemudian dilanjutkan menuju arah Muara Sipongi dan Padang
Sidempuan. Dari arah lain hal yang sama juga dilakukan dari Sibolga menuju Padang
Sidempuan. Oleh karena daerah Padang Sidempuan sudah sejak lama menjadi simpul
lalu lintas dari berbagai penjuru (era Inggris di Sibolga) maka dalam
perkembangannya dilakukan pembukaan jalan-jalan penghubung utama dari dan ke
Padang Sidempuan via Sipirok menuju Tarutung, via Gunung Tua menuju Rantau
Prapat dan via Ujung Batu menuju Pekanbaru.
Pada
akhir masa kolonial Belanda di Tapanuli Selatan master plan pembangunan jalan-jalan utama di wilayah Tapanuli
Selatan sudah sepenuhnya terbentuk. Namun dalam perkembangannya, ruas-ruas jalan yang sudah ada kualitasnya
berbeda-beda. Perbedaan kualitas ini sudah tentu sangat terkait dengan
keperluan visi misi Belanda yang dikaitkan dengan pemerintahan, pergerakan
pasukan dan kebutuhan maskapai dagang pengusaha Belanda. Selanjutnya pada masa
pendudukan Jepang yang berlangsung tidak lama, mereka pada hematnya hanya
memanfaatkan jalan-jalan yang sudah ada dan belum sempat memberi kontribusi
terhadap pertambahan kuantitas dan kualitas jalan karena pasukan Jepang lebih
sibuk membangun benteng-benteng dan perencanaan-perencanaan logistik. Akibatnya,
jalan-jalan selama pendudukan Jepang kualitas jalan-jalan yang ada sudah jauh
menurun jika dibandingkan era Belanda.
Setelah
pendudukan Jepang berakhir di Tapanuli Selatan yang kemudian berlanjut dengan perang
kemerdekaan, maka kondisi jalan-jalan yang ada bukannya bertambah dan meningkat
kualitas tetapi justru semakin memburuk. Pemerintah Indonesia setelah pengakuan
kedaulatan RI sudah tentu belum sempat membangun dan jalan-jalan yang ada di
sekitar kemerdekaan berhasil didokumentasikan oleh Army Map Service, Corps of
Engineer US Army Washington DC yang telah selesai pada tahun 1955. Hasil
pemetaan jalan di wilayah Tapanuli Selatan di sekitar masa
kemerdekaan Indonesia adalah sebagai berikut:
No
|
Ruas jalan
|
Jumlah jalur
|
Permukaan
jalan
|
1
|
Padang
Sidempuan-Sibolga
|
dua
|
Loose/rapuh
|
2
|
Padang
Sidempuan-Panyabungan
|
dua
|
Loose
|
3
|
Panyabungan-Kotanopan-Muara
Sipongi
|
satu
|
Hard/keras
|
4
|
Kotanopan-Muara
Sipongi
|
satu
|
Hard
|
5
|
Muara
Sipongi-Bukittinggi
|
satu
|
Hard
|
6
|
Bukittinggi-Padang
|
dua
|
Hard
|
7
|
Panyabungan
Natal
|
satu
|
Loose
|
8
|
Padang
Sidempuan-Pal XI
|
satu
|
Hard
|
9
|
Pal
XI-Sipirok
|
dua
|
Loose
|
10
|
Pal
XI-Aek Godang
|
satu
|
Hard
|
11
|
Aek
Godang-Gunung Tua
|
dua
|
Hard
|
12
|
Aek
Godang-Sibuhuan-Ujung Batu
|
satu
|
Hard
|
13
|
Sipirok-Tarutung
|
satu
|
Loose
|
14
|
Sipirok-Simangambat
|
satu
|
Loose
|
15
|
Gunung
Tua-Binanga-Sibuhuan
|
satu
|
Loose
|
16
|
Gunung
Tua-Langga Payung
|
satu
|
Hard
|
17
|
Langga
Payung-Rantau Prapat
|
dua
|
Hard
|
18
|
Ujung
Batu-Pasir Pangaraian*
|
satu
|
Loose
|
*hanya
bisa dilalui saat musim kering
|
Masa ‘keemasan’
Natal
Di
Tapanuli Selatan angkutan dan transportasi air/laut hanya ditemukan di daerah
Natal dan sekitarnya. Kota Natal sebagai kota pelabuhan, peranannya sangat
besar di masa lalu baik untuk menyalurkan hasil-hasil bumi untuk ekspor, juga
pelabuhan Kota Natal menjadi pintu masuk produk-produk impor yang
diperdagangkan di Tapanuli Selatan. Konon, Kota Natal dulunya tidak hanya
sebagai pusat perdagangan tetapi juga pintu masuk penyebaran agama Islam di
daerah Mandailing/Angkola. Masa-masa keemasan Kota Natal ini cukup lama yang
mengakibatkan Kota Natal sebagai pelabuhan dan pusat perkembangan sosial tumbuh
menjadi sebuah kota—satu satunya ‘kota besar’ di Tapanuli Selatan.
Pendudukan
Jepang menjadi titik balik masa-masa ‘keemasan’ Natal sebagai kota dagang yang
penting di Tapanuli Selatan dan bahkan di pantai barat Sumatera. Sejak jaman
Portugis kemudian jaman Inggris hingga jaman Belanda Kota Natal tumbuh dan
berkembang sebagai pusat perdagangan. Setelah asisten residen dipindahkan ke
Kota Natal dan selanjutnya dipindahkan ke Kota Panyabungan, posisi strategis
Kota Natal sangat fenomenal. Kemudian asisten residen ditingkatkan menjadi
Residen dan berkedudukan di Padang Sidempuan, posisi strategis Kota Natal masih
tetap cukup penting.
Salah satu sudut Kota Natal masa doeloe yang masih eksis |
Setelah
ibukota residen Tapanuli dipindahkan ke Sibolga, posisi strategis Kota Natal
mulai berkurang dan Kota Sibolga sebagai pusat perdagangan yang dulunya setara
dengan Kota Natal mulai berkembang dan meningkat pesat. Akibatnya, arus barang
dan orang dari wilayah Tapanuli Selatan
semakin mengarah ke Sibolga. Sementara pelabuhan Kota Natal sekalipun masih tetap
berdenyut tetapi dalam aktivitas ekonomi hanya berfungsi sebagai feeder untuk Kota pelabuhan Sibolga. Ketika
terjadi pendudukan Jepang di Tapanuli, kedudukan Kota Natal sebagai kota dagang
yang cukup penting di masa sebelumnya mulai tampak menurun bahkan sudah
menunjukkan tanda-tanda menuju titik terendah. Kini, Kota Natal sangat merana,
memang bukti-bukti keutamaannya di masa doeloe masih terlihat bekas-bekasnya,
namun kapal-kapal dagang sudah tidak terlihat lagi walaupun hanya sekadar
mampir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar